Minggu, 28 September 2014

Melihat dunia dari sudut yang lain.




 Melihat dunia dari sudut yang lain.

          Mereka menyebutnya pagi, namun bagiku tidak. Karena mentari masih menunggu bumi dengan setia berputar pada porosnya. Menuggu hingga empat jam berlalu, kemudian ia akan memberi cahaya yang menyinari cakrawala pertanda kehidupan masih terus ada dan penghuninya harus terus berjuang. Mulai dari yang harinya diawali dari berjalan, merintih dan mengais untuk sesuap nasi hingga mereka yang bangun dengan keadaan nyaman menikmati pagi. Namun itulah yang harus dihadapi, Tantangan.

          Hari yang sangat special bagiku. Sebagai seorang hamba setiap hari yang masih dipercayakan kepada kita merupakan suatu hal dari kespesialan Maha Pencipta. Namun hari ini memiliki arti lebih bagiku. Mungkin Wright bersaudara telah menemukan alat ini berpuluh tahun yang lalu. Tapi baru kali ini aku bisa melihatnya begitu jelas. Karena selama ini aku hanya bisa melihatnya begitu tinggi di atas awan. Ku hanya bisa mengintip dari celah celah daun kelapa yang berdiri di depan rumah waktu itu. Melihatnya begitu jelas mengingatkanku pada tingkah lucu bersama teman sebaya dikala uang bergambarkan Pattimura masih begitu besar nilainya bagi kami. Ada sebuah cerita yang tak tahu datang dari mana asal usulnya. Mungkin pengarangnya sezaman dengan pengarang cerita Sampuraga yang melegenda. Yang lebih tua dari eranya para pujangga lama. Cerita menggelitik ini begini, jika kamu melihat pesawat terbang di udara, berteriaklah! Dan meminta uang padanya maka sang pilot akan menjatuhkan sebuah kotak berisi penuh uang. Hal ini masih kulakukan hingga aku  menyadari hal bodoh ini tidak benar. Setelah berhasil melewati Ujian sekolah bertaraf nasional yang harus ditempuh untuk mendapat ijazah berwarna merah itu. 
          Tak hanya satu ada cerita lain dari pesawat ini yang kembali terulang dan berputar bersama pandanganku yang entah terfokus kemana. Dikeluarga sederhanaku, aku merupakan anak pertama dan memiliki seorang adik perempuan dan seorang laki laki. Ketika adik perempuanku lahir, tak ada pertanyaan yang terlontar dari mulutku namun entah kenapa pertanyaan ini kutanyaakan pada ibuku ketika kelahiran adik keduaku. Tepatnya tahun 2003 kami mendapat hadiah yang sangat special dari Allah. Ada sebuah tradisi di suku Batak Angkola, ketika seorang bayi lahir maka sang nenek akan membawa ia keluar rumah dan memasuki rumah kembali pertanda keluarga itu telah kedatangan anggota baru. Salah seorang nenekku pun menggendong dan melakukan prosesi itu. Disaat itulah aku bertanya pada ibuku dari mana adik kecil ini datang. Ditahun itu aku masih tahun pertama di Sekolah Dasar. Dengan cepat ibuku menjawab kalau bayi mungil ini berasal dari sebuah pesawat. Ku terdiam dan mencoba mencernanya, alih alih mengerti aku hanya bertambah bingung dan membiarkannya begitu saja. Karena saat itu kata Biologi pun  belum ada dalam perbendaharaan kataku. Jawaban konyol ini ku percayai layaknya cerita pesawat yang akan menjatuhkan sekotak uang, hingga akhirnya ada kala jawaban yang sesungguhnya berhasil ku dapat. Kelas lima Sekolah Dasar, kami belajar bahwa semua makhluk hidup berasal dari perkembangbiakan induknya. Empat tahun lamanya jawaban itu ku simpan rapi di dalam otak dan akhirnya terhapus dengan datangnya jawaban yang lebih mampu diterima akal.

          Ku paksa pikiranku tersadar dari segulung cerita lucu yang menemani waktu bernama masa lalu. Pagi itu aku, ibu, adik lakilakiku serta tulangku berada di Bandara Kualanamu (Kualanamu International Airport). Karena hari ini aku akan membelah awan untuk pertama kalinya bersama sahabat seperjuangan Jordan Sitepu untuk mengikuti Orientasi AFS di Jakarta. Bagi beberapa orang mungkin momen seperti ini sudah tak menyisakan cerita berarti lagi, namun bagi anak yang terbiasa bermain di sungai sepertiku, ini momen yang tak akan kulupakan. Duduk di pesawat yang selama ini hanya sekilas terlintas di kepala. Kuperhatikan betul setiap sudut yang masih terjangkau mata, Hari itu ku terbang pertama kalinya bersama sebuah besi yang sampai sekarang belum ku ketahui kenapa benda seberat ini bisa melaju di udara. Dan destinasi tujuannya adalah Jakarta. Meninggalkan keluarga, dan akan melangkah lebih jauh setelah selesai orientasi, menjelajah dan mengintip ke unikan dunia di serpihan tanah yang lain. Menjadi seorang pelajar dan duta di suatu negeri yang masih serumpun namun berbudaya kontras dengan Indonesia. Ke kontrasan itu bukan halangan justru itulah alasan kenapa kami diutus untuk memahaminya, agar tercipta cita cita yang telah hampir seratus tahun organisasi kami dengungkan. Menciptakan perdamaian di seluruh dunia dengan pemahaman budaya.